Selasa, 29 Januari 2013

Korban Banjir

16.57 wib mata ini tak kunjung berhenti melirik jam di tangan. Muka cemas, bercampur khawatir, senang dan apalah yang ada dipikiran saya saat itu. "kamu kenapa ki???" tanya Kak Ari yang sepertinya memperhatikan gerak gerik kegelisahanku. "itu kak, kiki mau pulang ke Jakarta takut kesorean" jawab ku dengan ekspresi muka seadanya. Hari ini pernikahan teh Dini salah satu penghuni sejati kosan goyang yang sekarang sepertinya akan pensiun. Kali pertamanya saya menghadiri acara pernikahan di kota ini selama 6 bulan saya berdomisili di kota Bogor. Awalnya saya ragu akan menghadiri acara pernikahan ini, karena saya harus berbalap waktu mengintai kereta api yang akan berangkat ke Jakarta. Namun sebagai salah satu penghuni kosan goyang ini sayapun menyempatkan diri hadir di acara tersebut. Hitung-hitung siapa lagi kan ya yang bakalan ngundang saya ke pesta pernikahan disini. Tidak ada yang berbeda, tampak luar yang dihiasi bunga setengah melingkar dan dipercantik dengan lampu yang indah tentunya membuat suasana menjadi tambah meriah. Dari kejauhanpun musik khas Indonesia yaitu dangdut sudah menggema di dinding ruangan. Misi melahap habis santapan yang masih sisa terhidang diatas mejapun segera di luncurkan. Mengeksiskan diri dengan berpose nyengir kuda ala kadarnyapun akhirnya terwujudkan. "hmmmmmmhh.. kak kiki pulang duluan aja ya, takut ketinggalan kereta" izinku berwajah penuh kegelisahan. "ntar aja neng, bareng sama yang lain aja ya, bentar lagi kok mereka selesai makan" bujuknya untuk menahan langkah kakiku keluar ruangan yang sungguh nan meriah itu. Kegelisahan diwajahkupun tak mampu akau sembunyikan, beberapa kali kaki ini tak sengaja menyenggol beberapa piring pengunjung yang berserakan dilantai. Akhirnya dengan sedikit berlari-lari kecil sayapun segera menuju kosan. Mengambil koper, satu ransel dan satu tas yang berisi roti unyil. Menyeret koper menelusuri gang-gang kecil hingga menuju jalan raya. Menanti angkot seraya menghapus sedikit keringat yang mulai membasahi wajah. Tampak seorang bapak dengan wajah yang seram, berkumis lebat namun tatapan matanya bersahabat. Membantu menaikkan koperku kedalam angkot. Rasanya sejuk tenaaaaaaann,masih ada yah orang baik di kota yang begitu ramai ini. Sepanjang perjalanan saya terlalu banyak memikirkan tentang apa saja yang akan saya lakukan setelah turun dari angkot ini. Mulai dari menurunkan koper, menyiapkan ongkos angkot, berjalan menepi dan menunggu angkot lagi, melirik-lirik nomer angkot yang akan dinaiki, menaikkan koper ke angkot lagi, dan bahkan tempat dimana saya akan turunpun menggelintir menjadi pikiran saya saat itu. Mengingat hari semakin sore serta barang bawaan yang begitu banyak membuat beban pikiran ini semakin membeludak. "kiri pak !" kalimat perintah dengan nada yang lumayan tinggi saya keluarkan saat itu. Spontan si Supir dengan berkalung handuk lusuh kusam menginjakkan rem angkotnya dengan sigap. Dengan hati-hati dia mencari tempat yang pas buat saya turun. Yah, di depan sebuah pusat perbelanjaan yang lumayan terkenal di kota ini. Dan tepat di seberangnya stasiun kota Bogor yang ramai pengunjung,mulai dari golongan pemuda-pemudi yang hanya sekedar nongkrong dan memadatkan tempat itu saja dan bahkan hiruk pikuk para pengguna jasa KRL yang dengan cepat melangkahkan kakinya baik yang menuju maupun yang baru tiba di stasiun ini. Sedikit menarik nafas yang cukup panjang dari biasanya, saya melangkahkan kaki menuju gerbang stasiun yang ada di seberang jalan. Melirik kanan kiri sisi jalanan yang sempat macet karena pemberhentian angkot yang seenaknya saja, termasuklah saya pada saat itu. Sedikit berlari-lari kecil dengan jarak yang cukup dekat sambil menyeret koper yang jujur saja hampir empat per tiganya merupakan baju kotor. Maklum cuaca Bogor kurang bersahabat dengan matahari sebagai sarana pengering baju. Seolah tergopoh-gopoh takut ketinggalan kereta, saya dapat mempersingkat waktu dari biasanya dengan beban yang lumayan. Kalau biasanya untuk menuju loket dengan berjalan kaki yang temponya santai saya bisa memakan waktu 3 sampai 4 menit. Kali ini saya hanya menghabiskan waktu tidak lebih dari 3 menit. Walaupun nafas saya tersendat-sendat ketika bilang "Banghh hhh Ja-kartah satuuh" sembari menyodorkan uang kertas sepuluh ribuan. "Jakartah dih rel nomer berapah?" masih dengan terengah-engah saya melontarkan pertanyaan itu kepada salah satu petugas yang memeriksa tiket di sisi kiri pintu masuk. Sedikit kecewa mendengar jawaban si Petugas lantaran jawabannya itu memaksa kaki saya berjalan cukup jauh.Duduk manis, mengambil posisi paling wenaaak sebelum perpadatan penumpang terjadi. Menyetel beberapa musik yang mungkin bisa terus menyemangati diri. Melihat telapak tangan kanan merah dan perih. Efek mengangkat koper bukan menyeret lagi tapi kali ini mengangkat koper yang memang benar-benar menguras tenaga. Mata yang sekarang kurang bersahabat lagi membuat saya clingak clinguk mengintip disela-sela pintu gerbong kereta yang terbuka setiap kali berhenti di stasiun yang ia lewati. Masih lama pikirku. Terus memutar musik sampai akhirnya beberapa menit saya tertidur manis di sudut kereta. Sepuluh menit sebelum saya tiba, saya teah mempersiapkan diri. Itung-itung hari sudah malam dan saya tidak dapat melihat dengan jelas tulisan-tulisan yang terpampang menunjukkan lokasi saya pada saat itu. Beruntunglah kali itu ada petugas KRL yang meneriakkan stasiun mana yang sedang kereta ini singgahi. Satu stasiun lagi gumamku dalam hati. Merapatkan diri menuju pintu keluar dan tibalah saya di stasiun yang saya tuju. Sedikt melirik jam di handphone saya. 19.23 wib. Saya memutuskan untuk menelpon kakak yang mungkin tidak sedang bergelut dengan kesibukannya. Akhir telpon saya tutup dengan senyuman. Akhirnya saya disarankan untuk ke puskesmas Pancoran. Katanya tidak terlalu jauh, cukup dengan berjalan kaki ke arah kiri stasiun di belokan pertama. Tanpa ragu sayapun melangkahkan kaki seperti yang diperjelas yang saya rasa kurang jelas. Kalau di sinetron saya sedang memerani adegan diusir dari rumah dan tidak ada tujuan setelah tragedi pengusiran itu. Menelusuri jalan dengan backsound kebisingan kota Jakarta ditambah lagi dengan suara roda koper saya yang bersapa riang dengan aspal jalanan. Tidak jarang berbagai Taxi menawarkan saya dan bahkan sampai ada yang berhenti mengikuti langkah kaki saya. Saat itu saya teringat adegan penculikan didalam Taxi. Merasa masih anak kecil saat itu. Tanpa ada perintah langsung, kakipun langsung berbelok ke persimpangan yang ada di bagian kiri jalan. Sempat ragu namun terus berjalan semakin masuk ke dalam gang tersebut. Tapi kali ini curiga itu benar-benar nyata. Beberapa kali mencoba menghubungi kakak namun tidak ada jawaban. Karena masih memiliki otak dan kenormalan berpikir akhirnya saya keluar dari gang yang semakin sepi itu. Massih ada ya gang sesepi ini di Ibu Kota yang ramainya tiada ampun. Apa mungkin efek banjir yang akhir-akhir ini rusuh di Media massa, sehingga masyarakat pada ngungsi gitu. Bingung. Satu kata yang dapat menyimpulkan semua gerak gerik saya malam itu. Takut. Kata kedua setelah bingung melampaui batas, ketika telpon yang tak kunjung diangkat, ketika jalanan semakin sepi, ketika beberapa kali ojek menghampiri, ketika tak jarang beberapa orang melemparkan tatapan aneh, tak tau lagi harus sejauh mana saya berjalan tanpa arah seperti ini, dan saat itu jiwa manusiawi saya sebagai seorang wanita keluar. Yah, meneteslah air mata kekesalan. Belum sempat menghapus tetesan yang sekurangnya 2 menit lalu mengalir, sosok pria dari balik mobil tentara terenyum seolah berkata "tenanglah Adikku sayang, aku ada disini". Pantulan cahaya dari lampu jalan yang mengarah ke wajahkupun sepertinya menampakkan butiran sisa air mata yang sedari tadi ku sembunyikan di balik kelamnya malam bersama setianya rembulan. Senyum terlegah sayapun diawal tahun ini saya lemparkan untuk kakak tercinta. Mulai memasuki gang yang ramai dengan jejeran motor dan sekomplotan bapak-bapak mengepung jalan. Ada apa ini?. Mereka menyambut hangat kehadiran saya. Tatapan demi tatapan tak mampu saya balas atu persatu. Senyum sapa merekapun hanya bisa saya jamakkan dengan sekali tarikan senyuman yang saya tahan hingga ke depan pintu ruang kerja kakak. Sorotan mata yang lebih tajam dari tatapan elang mungkin, ketika melihat koper yang saya bawa. Merasa aneh, ada apa dengan masa yang begitu banyak. Tikar dan dus-dus pakaian yang bergeletak hampir rapi disudut-sudut ruangan. Dapur umum yang saya lewati semakin menambah rasa penasaran saya. Memasuki gedung yang ketika malam datang saya jamin tak ada satupun orang disana dan malam ini semua berkumpul. Yah, mana ada yang mau ke Puskesmas malam-malam?. "Dok, itu bantuan lagi ya" ujar seorang wanita separuh baya menunjuk koper yang saya bawa. Tatapannya pada koper yang penuh pengharapan namun tidak luput dari kesedihan mendalam. Bergegas saya masuk ke ruang kakak. Merasa tidak enak setelah memberikan harapan kosong. Diceritakanlah saya tentang apa yang terjadi, ternyata mereka korban banjir yang melanda Jakarta dan tersiar heboh di media massa. Oh God, akhirnya saya berada di tengah-tengah mereka. Unbelievable !!! saya yang kemaren ngotot pengen nolongin korban banjir di Jakarta ternyata benar-benar menjadi kenyataan. Terima kasih ya Allah telah mendengarkan suara hati yang paling ter ter dalam. Bergegas mengambil wudhu, menyegerakan sholat. Merapikan barang-barang dan mencari-cari apa yang dapat saya bantu sekarang. Sayapun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan kali ini. Akhirnya job pun datang. Segeralah saya memikul kerdus-kerdus yang baru saja diberikan donatur. Mengumpulkan massa yang di bantu salah satu ibu RT. Membagikan makanan kepada anak-anak yang segera mengerumuni saya malam itu. Bahagia tak kuasa ku tahan. Kali ini air mata bahagia mampu aku bendung. Tidak hanya anak-anak, namun ibu-ibu hamil, nenek-nenek pun segera menghampiri saya dengan harapan masih ada makanan yang tersisa untuk mengisi abomasum mereka yang sedari tadi menanti-nanti. Senyumpun tak mampu aku lepaskan sembari membagikan makanan, ucapan terima kasih yang tulus dari mereka sungguh menyejukkan hati. Menghapus semua kekesalanku tadi. "Trima kasih ya Mbak" ooooohhh kata-kata itu masih terngiang-ngiang dibenakku. Syukur yang tiada henti saya lontarkan sepanjang malam itu. Membantu sekaligus memberi contoh kepada mereka akan sadarnya terhadap lingkungan, saya membersihkan sampah-sampah yang ada di sekitar halaman. Awalnya hanya saya sendiri, namun ada sosok ibu-ibu yang membantu saya. Tak kuasa menahan rasa syukur ini. Menjelang larut malam, diruang yang serba sederhana, saya membaringkan diri. Tikar-tikarpun mulai digelar di sepanjang koridor dan teras. Berjalanpun harus hati-hati karena mereka tidur dengan ala kadarnya yang memenuhi ruangan. Bahkan ada yang tidur di kursi besi. Jujur malam itu saya benar-benar tidak bisa tidur. Bukan karena tempatnya yang gimana gitu. Tapi karena keramaian di teras depan. Suara cekikikan bapak-bapak yang sedang bermain galplek mungkin. Yang saya herankan, mereka orang-orang yang kuat. Masih bisa tersenyum dan bahkan tertawa dikala bencana alam menghampiri mereka dan keluarga mereka tercinta. Seandainya saya berada diposisi mereka. Mampukah saya mempertahankan senyuman itu? Berselang beberapa menit kemudian, lamunan saya disadarkan oleh suara mobil yang perlahan berhenti di depan Gedung nan ramai ini. Berusa mengintip dari jendela ruangan. Seorang ibu-ibu turun dari mobil mewah menjabati mereka yang masih belum tertidur. Memberi motivasi dan kata yang paling saya ingat adalah "sabar ya. Ini adalah cobaan. Semoga keadaan cepat kembali seperti semula". Tak lupa sang Ibu memberikan beberapa bingkisan dan menanyakan kebutuhan apa yang dibutuhkan para korban. Dalam hati saya bergeming ingin sekali rasanya menjadi donatur seperti Ibu-ibu yang barusan saya menyalamu mereka. Memberi kehangatan disetiap sapaannya. Kelak suatu saat, saya dapat mewujudkannya. Terlepas dari restumu ya Robb. Melirik jam di handphone menunjukkan pukul 2:15 wib. Rasa tidak tega membangunkan kakak untuk segera mengantarkan saya pulang ke rumah mengingat jam 7 saya sudah harus check in di Bandara untuk keberangkatan ke pulau Tanjung Pinang. Namun ada hal lain yang membuat saya tersentak miris, ketika saya melihat bapak-bapak yang tadinya tertawa riang kini tergeletak lemas di teras menggigil kedinginan. Tak jarang mereka terbangun karena jipratan air hujan yang menerobos masuk teras. Alhamdulillah ya Robb, ketika saya tidak dalam keadaan seperti mereka. Masih bisa merasakan empuknya kasur, hangatnya selimut dan bahkan tidak akan ada jipratan air hujan yang mengganggu lelapnya tidur. Jangan pernah berenti untuk membantu dan selalu bersyukur .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar