Selasa, 29 Januari 2013

Korban Banjir

16.57 wib mata ini tak kunjung berhenti melirik jam di tangan. Muka cemas, bercampur khawatir, senang dan apalah yang ada dipikiran saya saat itu. "kamu kenapa ki???" tanya Kak Ari yang sepertinya memperhatikan gerak gerik kegelisahanku. "itu kak, kiki mau pulang ke Jakarta takut kesorean" jawab ku dengan ekspresi muka seadanya. Hari ini pernikahan teh Dini salah satu penghuni sejati kosan goyang yang sekarang sepertinya akan pensiun. Kali pertamanya saya menghadiri acara pernikahan di kota ini selama 6 bulan saya berdomisili di kota Bogor. Awalnya saya ragu akan menghadiri acara pernikahan ini, karena saya harus berbalap waktu mengintai kereta api yang akan berangkat ke Jakarta. Namun sebagai salah satu penghuni kosan goyang ini sayapun menyempatkan diri hadir di acara tersebut. Hitung-hitung siapa lagi kan ya yang bakalan ngundang saya ke pesta pernikahan disini. Tidak ada yang berbeda, tampak luar yang dihiasi bunga setengah melingkar dan dipercantik dengan lampu yang indah tentunya membuat suasana menjadi tambah meriah. Dari kejauhanpun musik khas Indonesia yaitu dangdut sudah menggema di dinding ruangan. Misi melahap habis santapan yang masih sisa terhidang diatas mejapun segera di luncurkan. Mengeksiskan diri dengan berpose nyengir kuda ala kadarnyapun akhirnya terwujudkan. "hmmmmmmhh.. kak kiki pulang duluan aja ya, takut ketinggalan kereta" izinku berwajah penuh kegelisahan. "ntar aja neng, bareng sama yang lain aja ya, bentar lagi kok mereka selesai makan" bujuknya untuk menahan langkah kakiku keluar ruangan yang sungguh nan meriah itu. Kegelisahan diwajahkupun tak mampu akau sembunyikan, beberapa kali kaki ini tak sengaja menyenggol beberapa piring pengunjung yang berserakan dilantai. Akhirnya dengan sedikit berlari-lari kecil sayapun segera menuju kosan. Mengambil koper, satu ransel dan satu tas yang berisi roti unyil. Menyeret koper menelusuri gang-gang kecil hingga menuju jalan raya. Menanti angkot seraya menghapus sedikit keringat yang mulai membasahi wajah. Tampak seorang bapak dengan wajah yang seram, berkumis lebat namun tatapan matanya bersahabat. Membantu menaikkan koperku kedalam angkot. Rasanya sejuk tenaaaaaaann,masih ada yah orang baik di kota yang begitu ramai ini. Sepanjang perjalanan saya terlalu banyak memikirkan tentang apa saja yang akan saya lakukan setelah turun dari angkot ini. Mulai dari menurunkan koper, menyiapkan ongkos angkot, berjalan menepi dan menunggu angkot lagi, melirik-lirik nomer angkot yang akan dinaiki, menaikkan koper ke angkot lagi, dan bahkan tempat dimana saya akan turunpun menggelintir menjadi pikiran saya saat itu. Mengingat hari semakin sore serta barang bawaan yang begitu banyak membuat beban pikiran ini semakin membeludak. "kiri pak !" kalimat perintah dengan nada yang lumayan tinggi saya keluarkan saat itu. Spontan si Supir dengan berkalung handuk lusuh kusam menginjakkan rem angkotnya dengan sigap. Dengan hati-hati dia mencari tempat yang pas buat saya turun. Yah, di depan sebuah pusat perbelanjaan yang lumayan terkenal di kota ini. Dan tepat di seberangnya stasiun kota Bogor yang ramai pengunjung,mulai dari golongan pemuda-pemudi yang hanya sekedar nongkrong dan memadatkan tempat itu saja dan bahkan hiruk pikuk para pengguna jasa KRL yang dengan cepat melangkahkan kakinya baik yang menuju maupun yang baru tiba di stasiun ini. Sedikit menarik nafas yang cukup panjang dari biasanya, saya melangkahkan kaki menuju gerbang stasiun yang ada di seberang jalan. Melirik kanan kiri sisi jalanan yang sempat macet karena pemberhentian angkot yang seenaknya saja, termasuklah saya pada saat itu. Sedikit berlari-lari kecil dengan jarak yang cukup dekat sambil menyeret koper yang jujur saja hampir empat per tiganya merupakan baju kotor. Maklum cuaca Bogor kurang bersahabat dengan matahari sebagai sarana pengering baju. Seolah tergopoh-gopoh takut ketinggalan kereta, saya dapat mempersingkat waktu dari biasanya dengan beban yang lumayan. Kalau biasanya untuk menuju loket dengan berjalan kaki yang temponya santai saya bisa memakan waktu 3 sampai 4 menit. Kali ini saya hanya menghabiskan waktu tidak lebih dari 3 menit. Walaupun nafas saya tersendat-sendat ketika bilang "Banghh hhh Ja-kartah satuuh" sembari menyodorkan uang kertas sepuluh ribuan. "Jakartah dih rel nomer berapah?" masih dengan terengah-engah saya melontarkan pertanyaan itu kepada salah satu petugas yang memeriksa tiket di sisi kiri pintu masuk. Sedikit kecewa mendengar jawaban si Petugas lantaran jawabannya itu memaksa kaki saya berjalan cukup jauh.Duduk manis, mengambil posisi paling wenaaak sebelum perpadatan penumpang terjadi. Menyetel beberapa musik yang mungkin bisa terus menyemangati diri. Melihat telapak tangan kanan merah dan perih. Efek mengangkat koper bukan menyeret lagi tapi kali ini mengangkat koper yang memang benar-benar menguras tenaga. Mata yang sekarang kurang bersahabat lagi membuat saya clingak clinguk mengintip disela-sela pintu gerbong kereta yang terbuka setiap kali berhenti di stasiun yang ia lewati. Masih lama pikirku. Terus memutar musik sampai akhirnya beberapa menit saya tertidur manis di sudut kereta. Sepuluh menit sebelum saya tiba, saya teah mempersiapkan diri. Itung-itung hari sudah malam dan saya tidak dapat melihat dengan jelas tulisan-tulisan yang terpampang menunjukkan lokasi saya pada saat itu. Beruntunglah kali itu ada petugas KRL yang meneriakkan stasiun mana yang sedang kereta ini singgahi. Satu stasiun lagi gumamku dalam hati. Merapatkan diri menuju pintu keluar dan tibalah saya di stasiun yang saya tuju. Sedikt melirik jam di handphone saya. 19.23 wib. Saya memutuskan untuk menelpon kakak yang mungkin tidak sedang bergelut dengan kesibukannya. Akhir telpon saya tutup dengan senyuman. Akhirnya saya disarankan untuk ke puskesmas Pancoran. Katanya tidak terlalu jauh, cukup dengan berjalan kaki ke arah kiri stasiun di belokan pertama. Tanpa ragu sayapun melangkahkan kaki seperti yang diperjelas yang saya rasa kurang jelas. Kalau di sinetron saya sedang memerani adegan diusir dari rumah dan tidak ada tujuan setelah tragedi pengusiran itu. Menelusuri jalan dengan backsound kebisingan kota Jakarta ditambah lagi dengan suara roda koper saya yang bersapa riang dengan aspal jalanan. Tidak jarang berbagai Taxi menawarkan saya dan bahkan sampai ada yang berhenti mengikuti langkah kaki saya. Saat itu saya teringat adegan penculikan didalam Taxi. Merasa masih anak kecil saat itu. Tanpa ada perintah langsung, kakipun langsung berbelok ke persimpangan yang ada di bagian kiri jalan. Sempat ragu namun terus berjalan semakin masuk ke dalam gang tersebut. Tapi kali ini curiga itu benar-benar nyata. Beberapa kali mencoba menghubungi kakak namun tidak ada jawaban. Karena masih memiliki otak dan kenormalan berpikir akhirnya saya keluar dari gang yang semakin sepi itu. Massih ada ya gang sesepi ini di Ibu Kota yang ramainya tiada ampun. Apa mungkin efek banjir yang akhir-akhir ini rusuh di Media massa, sehingga masyarakat pada ngungsi gitu. Bingung. Satu kata yang dapat menyimpulkan semua gerak gerik saya malam itu. Takut. Kata kedua setelah bingung melampaui batas, ketika telpon yang tak kunjung diangkat, ketika jalanan semakin sepi, ketika beberapa kali ojek menghampiri, ketika tak jarang beberapa orang melemparkan tatapan aneh, tak tau lagi harus sejauh mana saya berjalan tanpa arah seperti ini, dan saat itu jiwa manusiawi saya sebagai seorang wanita keluar. Yah, meneteslah air mata kekesalan. Belum sempat menghapus tetesan yang sekurangnya 2 menit lalu mengalir, sosok pria dari balik mobil tentara terenyum seolah berkata "tenanglah Adikku sayang, aku ada disini". Pantulan cahaya dari lampu jalan yang mengarah ke wajahkupun sepertinya menampakkan butiran sisa air mata yang sedari tadi ku sembunyikan di balik kelamnya malam bersama setianya rembulan. Senyum terlegah sayapun diawal tahun ini saya lemparkan untuk kakak tercinta. Mulai memasuki gang yang ramai dengan jejeran motor dan sekomplotan bapak-bapak mengepung jalan. Ada apa ini?. Mereka menyambut hangat kehadiran saya. Tatapan demi tatapan tak mampu saya balas atu persatu. Senyum sapa merekapun hanya bisa saya jamakkan dengan sekali tarikan senyuman yang saya tahan hingga ke depan pintu ruang kerja kakak. Sorotan mata yang lebih tajam dari tatapan elang mungkin, ketika melihat koper yang saya bawa. Merasa aneh, ada apa dengan masa yang begitu banyak. Tikar dan dus-dus pakaian yang bergeletak hampir rapi disudut-sudut ruangan. Dapur umum yang saya lewati semakin menambah rasa penasaran saya. Memasuki gedung yang ketika malam datang saya jamin tak ada satupun orang disana dan malam ini semua berkumpul. Yah, mana ada yang mau ke Puskesmas malam-malam?. "Dok, itu bantuan lagi ya" ujar seorang wanita separuh baya menunjuk koper yang saya bawa. Tatapannya pada koper yang penuh pengharapan namun tidak luput dari kesedihan mendalam. Bergegas saya masuk ke ruang kakak. Merasa tidak enak setelah memberikan harapan kosong. Diceritakanlah saya tentang apa yang terjadi, ternyata mereka korban banjir yang melanda Jakarta dan tersiar heboh di media massa. Oh God, akhirnya saya berada di tengah-tengah mereka. Unbelievable !!! saya yang kemaren ngotot pengen nolongin korban banjir di Jakarta ternyata benar-benar menjadi kenyataan. Terima kasih ya Allah telah mendengarkan suara hati yang paling ter ter dalam. Bergegas mengambil wudhu, menyegerakan sholat. Merapikan barang-barang dan mencari-cari apa yang dapat saya bantu sekarang. Sayapun tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan kali ini. Akhirnya job pun datang. Segeralah saya memikul kerdus-kerdus yang baru saja diberikan donatur. Mengumpulkan massa yang di bantu salah satu ibu RT. Membagikan makanan kepada anak-anak yang segera mengerumuni saya malam itu. Bahagia tak kuasa ku tahan. Kali ini air mata bahagia mampu aku bendung. Tidak hanya anak-anak, namun ibu-ibu hamil, nenek-nenek pun segera menghampiri saya dengan harapan masih ada makanan yang tersisa untuk mengisi abomasum mereka yang sedari tadi menanti-nanti. Senyumpun tak mampu aku lepaskan sembari membagikan makanan, ucapan terima kasih yang tulus dari mereka sungguh menyejukkan hati. Menghapus semua kekesalanku tadi. "Trima kasih ya Mbak" ooooohhh kata-kata itu masih terngiang-ngiang dibenakku. Syukur yang tiada henti saya lontarkan sepanjang malam itu. Membantu sekaligus memberi contoh kepada mereka akan sadarnya terhadap lingkungan, saya membersihkan sampah-sampah yang ada di sekitar halaman. Awalnya hanya saya sendiri, namun ada sosok ibu-ibu yang membantu saya. Tak kuasa menahan rasa syukur ini. Menjelang larut malam, diruang yang serba sederhana, saya membaringkan diri. Tikar-tikarpun mulai digelar di sepanjang koridor dan teras. Berjalanpun harus hati-hati karena mereka tidur dengan ala kadarnya yang memenuhi ruangan. Bahkan ada yang tidur di kursi besi. Jujur malam itu saya benar-benar tidak bisa tidur. Bukan karena tempatnya yang gimana gitu. Tapi karena keramaian di teras depan. Suara cekikikan bapak-bapak yang sedang bermain galplek mungkin. Yang saya herankan, mereka orang-orang yang kuat. Masih bisa tersenyum dan bahkan tertawa dikala bencana alam menghampiri mereka dan keluarga mereka tercinta. Seandainya saya berada diposisi mereka. Mampukah saya mempertahankan senyuman itu? Berselang beberapa menit kemudian, lamunan saya disadarkan oleh suara mobil yang perlahan berhenti di depan Gedung nan ramai ini. Berusa mengintip dari jendela ruangan. Seorang ibu-ibu turun dari mobil mewah menjabati mereka yang masih belum tertidur. Memberi motivasi dan kata yang paling saya ingat adalah "sabar ya. Ini adalah cobaan. Semoga keadaan cepat kembali seperti semula". Tak lupa sang Ibu memberikan beberapa bingkisan dan menanyakan kebutuhan apa yang dibutuhkan para korban. Dalam hati saya bergeming ingin sekali rasanya menjadi donatur seperti Ibu-ibu yang barusan saya menyalamu mereka. Memberi kehangatan disetiap sapaannya. Kelak suatu saat, saya dapat mewujudkannya. Terlepas dari restumu ya Robb. Melirik jam di handphone menunjukkan pukul 2:15 wib. Rasa tidak tega membangunkan kakak untuk segera mengantarkan saya pulang ke rumah mengingat jam 7 saya sudah harus check in di Bandara untuk keberangkatan ke pulau Tanjung Pinang. Namun ada hal lain yang membuat saya tersentak miris, ketika saya melihat bapak-bapak yang tadinya tertawa riang kini tergeletak lemas di teras menggigil kedinginan. Tak jarang mereka terbangun karena jipratan air hujan yang menerobos masuk teras. Alhamdulillah ya Robb, ketika saya tidak dalam keadaan seperti mereka. Masih bisa merasakan empuknya kasur, hangatnya selimut dan bahkan tidak akan ada jipratan air hujan yang mengganggu lelapnya tidur. Jangan pernah berenti untuk membantu dan selalu bersyukur .

Jumat, 04 Januari 2013

Relaksasi hati

Mataku terbelalak ketika aku melihat satu message, semangat itu bak disulap. Menyempatkan diri untuk membalasnya. Selalu menjaga ucapan. Pagi ini, dehidrasi melanda penghuni kost, ya jelas aja udah muter sana sini semua yang warungnya menyediakan galon HABIS! Perjuangan sampai ketempat isi ulang yang paling jauh dari kosan. Langkahkupun terasa berat. Mengingat malam tadi belajarpun gak masuk otak, sibuk nonton vidio, dan bahkan ketika ingin menyegarkan mata ke kamar mandi harus kepeleset. Udah mood belajar gak ada, dibaca berulang-ulangpun gak ada yang nyangkut. Dan akhirnya lampu kamar dimatikan, keputusan tidurpun segera diambil. Hasilnya saya tidak belajar. Sedikit mengisi perut, lalu menyegerakan untuk mengisi otak. Karena semangat itu baru ada. Lembar demi lembar modul praktikumpun di balik dengan cepat. Sembari berdoa semoga apa yang dibaca nyangkut. Siap, dan melangkahkan kaki keluar kamar, membentangkan payung pink bercorak bunga. Dan tetap basah, ssepatu baru pun basah. Ntah sudah berapa sepatu yang menjadi korbanku sselama di Bogor, Sudah ratusan ribu yang keluar. Mulai dari Fladeo, Homyped, Nevada sampai akhirnya saya membeli sepatu yang harganya 45ribu. Udah di tendang-tendang, di ceburin ke air tapi awet. Lupan tentang sepatu, sebagian bajukupun basah apalagi tadi di ciprat mobil. Huuuuhh, setibanya di kampuspun saya langsung disuguhkan kertas undian nomer urut masuk ujian. Taraaaaaaa, sayapun masuk kloter pertama. Belum sempat payung ditutup langsung masuk ruang ujian. Bagus banget. Dalam hati berbisik bahwa akan siap berperang dengan soal. Dan alhamdulillah senangnya bukan main ketika namaku tidak ada dalam pengumuman remidial. Thanks God. Biarpun tadi dikosan sendirian sampe malem, tapi hati gak serapuh kemarin. Lebih bisa melapangkan dada. Mungkin efek sms pagi tadi yang berasa sampai sekarang. Terima kasih :) Matapun membidik hape, paket internetpun aktif. wuuuuh serasa pengen teriaaaak bebanku sedikit berkurang. Ditambah lagi ketika temanku pulang membawakan banyak coklat coki-coki. wuuuuih nyammiiiieeeeee... Bismillah tetap bantu aku ya Robb, meluruskan niat awalku. Saling suport dulu untuk sesaat ini. Apalagi tweetnya yang menandakan tekanan batin dihatinya. I know so well gimana rasanya, gimana gelisahnya ketika melihat buku dan gak ada yang masuk satupun yang ada bayangan-bayangan semu. Aku selalu berdo'a agar dia selalu menjaga hatinya. Amiiiiiinnn !!!

Kamis, 03 Januari 2013

Tragedi jebolnya bendungan diawal 2013

Pagi ini, setelah aku terbangun dari tidur setelah subuh dan sahur, aku digembirakan dengan 6 sms yang masuk. Aku kira pagi-pagiku selanjutnya tidak akan ada sms lagi. Alhamdulillah, hanya saja itu sms dari teman-teman yang isinya jarkom ada dua kuliah pengganti siang ini. Hahaha Alhamdulillah banyak juga ya yang jarkom. Hari ini aku mandi lebih awal dari biasanya, hasrat ingin mencuci bajupun timbul dengan semangat menggebu-gebu. Selalu ingat kata orang tua bahwa kalo semangat itu lagi ada, lakukan segera. Jangan pernah menunda-nundanya. Akupun akhirnya mencuci baju dan segera menyiapkan diri untuk kuliah. Dengan pakaian rapi dan model kerudung yang agak sedikit berbeda dari biasanya. Aku bercengkrama sebentar dengan teman sekamarku. Itung-itung males nunggu di kampus, masih punya waktu 50 menit lagi. 15 menit berlalu, akupun di kejutkan dengan pertanyaan teman ku yang baru saja masuk ke kamar. "Ki, kamu gak kuliah?" tanyanya sedikit heran. "Kuliah dong, enggak liat apa udah rapi kaya begini?" jawabku dengan nada sedikit naik. "Kan hari ini pake baju PK?" jawabnya polos. "WHAAAAAAAAAAAATTT???". Segera melompat dari tempat tidur, bergegas mencari baju PK bercorak ungu dengan lambang ular di seblah kanan lengan baju. Sempurna, bajunya belum di setrika dengan kinclong. Mencari bawahan rok hitam dan O My God, jilbab hitampun baru saja dicuci. Alhasil saya pinjam punya teman sekamar dan waktu 15 menit lagi. Bergegas lari dan lagi telat . Yeaaay untung telat berlima. Sepanjang penyampaian materi kuliah aku sedikit murung kata temen sih. Ntahlah mungkin laper kali ya. Sengaja duduk yang paling depan agar bisa terdengar jelas apa yang disampaikan. Ada hal aneh ytadi, ketika dosen menceritakan suatu cerita, teman-teman pada tertawa sedangkan saya berusaha keras membendung air mata. Ntahlah apa yang saya pikirkan saat itu, beberapa kali saya memalingkan muka ke bawah agar dosen yang tepat berhadapan dengan saya tidak berkaca di bola mataku. Sepulangnya saya dari kampus, sepanjang perjalanan teman-teman menceritakan tentang begitu seru liburan mereka. Berbeda dengan saya yang saat itu hanya bisa tersenyum dan mengiyakan saja apa yang mereka bicarakan. Tiba-tiba salah seorang teman menanyakan " kok, kiki sekarang jadi tambah diem sih?". Lalu saya pun tersenyum dan bilang, "efek puasa nih. Maklum aja ya agak lemes"." yaaaah padahal tadi mau kita traktir lo ki, uadah pecahin aja puasanya" sambil tertawa uacapan tersebut dilontarkan dan hanya kalimat ini yang terlintas "ya udah, mungkin belum rejeki saya". Setibanya di kosan, kamar kosong. Mulai deh bakalan sendiri lagi, ntah lagi-lagi kenapa bendungan itu jebol. Masih dengan seragam ungu, menghapus aliran itu menggunakan ujung tangan. Basah dan sampai muka perih. Akupun menyegerakan mengambil wudhu, beristighfar lebih banyak dari baiasanya, berdo'a lebih panjang dari biasanya dan membaca Al-Qur'an lebih dari biasanya. Sedikit relax, mendengarkan musik, dan ku pegang buku fisiologi hewanku. Mengingat besok akan ada Ujian Praktik. Akupun tertidur dan sadar ketika teman-temanku sudah pulang, hanya diam, beberapa pertanyaan dan lelucon mereka lontarkan kepadaku. Lagi-lagi aku merasa lemas dan hanya mampu mangiyakan sembari melemparkan senyum kecil. "Ki, tumben kok kamu lemes banget, biasanya yang paling ceria". Lagi-lagi aku hanya mampu menjawab "efek puasa kayanya". Asharpun datang, segera wudhu-sholat-zikir-ngaji. Saya kira mereka akan menemani saya, dan lagi-lagi selepas ashar pun saya sendiri lagi. Dan laginya aku menjebolkan bendungan itu. Ntah sudar berapa kali aku bolak-balik dari meja ke tempat tidur dan kotak sampah hanya untuk mengambil dan membuang sampah tissue. Hingga akhirnya Magrib pun datang, 10 menit sebelumnya aku memaksakan diri untuk membeli makanan untuk berbuka. Awalnya sempat punya pikiran untuk tidak makan saja. Namun sama saja saya menjilat ludah sendiri atas apa yang pernah saya ucapkan bahwa makan itu sangat penting. Berusaha menikmati makanan sendirian di kamar kosan, tiba-tiba teman dari kamar atas datang. Tidak dapat kusembunyikan, mata masih berlinang. Malang kali nasibku ini, bendungan jebolpun ketauan. Kembali sholat-zikir-ngaji. Dan lagi-lagi ada saja hal membuat doaku begitu deras membajiri mukenah yang baru saja aku cuci. Ketika itu ada teman yang berbeda dari kamar atas masuk kekamar. Oh betapa malunya aku dengan mata merah, memegang Al-Qur'an. Dengan senyam-senyum terbirit-birit dia meninggali kamarku. Hingga sebelum aku menulis ini, bendungan itu jebol kembali, ntahlah akupun lupa untuk hari ini saja sudah berapa kali aku menjebolkan bendungan itu. Tak tau apa yang harus aku jawab esok pagi. Aku tersiksa dengan keputusanku sendiri, aku menyiksa batinku dengan caraku. Aku membenci kehidupan ku yang sekarang. Murung gak jelas, menghemat omongan, Aku BENCI dengan kehiduoanku diawal tahun ini. Apa yang membuatku sperti ini. Masalah bukan bersumber dari satu akar, ada-ada saja yang dapat mengakarkan suatu masalah. Aku bingung, ini UAS pertama ku di kuliah.Tapi aku menghancurkannya sendiri. Aku merasa terenyak dengan apa yang aku putuskan. Seharusnya aku tau kemampuanku, tapi nasi telah menjadi bubur ki. Terima dan syukuri. Berharap tidak akan ada bendungan yang terbentuk lagi, apalagi jebolnya bendungan. Barusan teman datang lagi dan bilang "kiki tumben yah lemes banget?" Please aku bosan dengan pernyataan seperti itu untuk hari ini. Aku baik-baik saja, Fine. Tidak ada yang berubah. Hanya lagi melatih batin agar kuat melepaskan apa yang sudah menjadi kebiasaan. Kuatkan aku sekuat-kuatnya batin manusia. Apa yang dapat menyelesaikan siksaan ini? APA???

Rabu, 02 Januari 2013

Cerita Cinta Penuh Warna III

Aku terpaku menatap langit-langit kamarku. Aku hanya mampu mendengarkan, sesekali menatap matanya. Melihat gerutan dikeningnya sambil mengutarakan isi hatinya. Saat itu aku tidak begitu terlalu paham apa yang dia bicarakan padaku. Yang aku ingat saat itu adalah aku hanya mengiyakan apa yang aku rasa itu hanya butuh respon anggukan dari kepala ku. Sampai saat ini aku tidak bisa mengingat dengan jelas kejadian itu. Namun massih terekam jelas diotakku saat itu adalah kata "Menikah" dan dia menunjukkan selembar foto seorang wanita cantik berjilbab anggun. Beberapa minggu berlalu, hingga akhirnya orang tua ku memutuskan untuk melamar si wanita berjilbab anggun itu. ntah angin apa, yang membuat keluargu berpikir seperti itu dan cepat mengambil kesimpulan. Padahal kakakku sendiri belum pernah bertemu dengan wanita berjilbab itu. Dia hanya sekedar tau namanya dan beberapa informasi yang diberikan temannya. Jadi kakakku ini dijodohkan pada wanita berjilbab itu oleh teman-teman kampusnya yang kenal lama dengan dia dan wanita berjilbab itu. Singkat cerita tibalah waktu lamaran, pertama kalinya melamar tanpa pernah melihat siapa yang akan dilamar, rumahnyapun akhirnya susah payah dicari. Mengingat kita beda pulau. Bandung menyapa orang tuaku bersama dua kakakku. Setiba dirumah tujuan, Alhamdulillah dilakukan penyambutan yang sangat ramah. Saat itulah suasana yang menegangkan dimulai. Orangtuaku dan kakakku mengutaran maksud dari mereka. Setelah ada perbincangan diantara kedua orang tua, sang wanita berjilabab keluar dari ruangan kecil disudut rumah. Selama beberapa detik kemudian wanita itu masuk lagi. Segera diputuskanlah apakah wanita menerima atau tidak dan laki-lakipun begitu. Namun sebelum ditentukan keputusannya, orang tua dari wanita berjilbab itu menanyakan sesuatu yang lumayan menguji, "Apakah kamu tetap bersedia menikahi anakku, karena jari telunjuk sebelah kanannya putus?". Hebatnya lagi kakak menjawab sanggup. Dan akhirnya taraaaaa mereka segera mendiskusikan acara pernikahan. Saat itu saya masih ingat sekali, diruang yang serba putih, tangan tertancap syrink infus, kondisi badan yang sangat lemah, satu minggu saya di opname. Selama itu juga saya melihat nyata kesibukan keluargaku di ruangan itu. Mulai dari hal yang paling kecil, dan sampai ke acara puncak semua didiskusikan di ruangan itu. Untungnya karena fasilitas askes orang tua ku, aku diinapkan di kamar satu. Dan karena penyakit yang aku derita itu bersifat menular maka ruangan yang paling banyak diisi dua orang itu, aku tempati dengan leluasa. Saat itu aku diuji Allah dengan tiga macam penyakit Malaria, gejala tifus, dan "Uap" bahasa daerahnya sih gitu. Alhamdulillah samapai saat ini saya tidak tidak ingin di opname lagi. Rasanya seperti terkurung diperlengkap tangan diikat. Semoga tidak ada yang keempat di opname. Melihat keluargaku yang sibuk diruangan itu dengan kondisi yang tidak terlalu nyaman aku merasa bersalah. Seharusnya mereka mendiskusikan acara yang semakin dekat itu di tempat yang nyaman dan tidak harus memikirkan keadaanku. Alhamdulillah mendekati hari H aku memaksa dokter untuk mengeluarkanku. Walaupun smepat diomelin tapi bodo lah. Akhirnya keluargakupun menuju acara puncak. Mobil dengan rombongan menempuh perjalanan satu hari satu malam untuk tiba di Jakarta Selatan, Kalibata. Disana kita disediakan rumah salah satu anggota DPR di komplek anggota DPR. Fasilitas yang oke menurutku. Tidak lama kami harus menunggu, karena memang direncanakan sesuai jadwal. Akhirnya keesokan harinya, sore yang menegangkan di Masjid Al-Amin komplek DPR Kalibata ikrar itupun dilaksanakan, mas kawin yang berupa hapalan beberapa surat Al-Qur'an itupun menggema. Ditambah lagi jumlah yang hadir pada akad nikah itu tidak diduga. Sampai keluar-luar masjidpun dipenuhi para undangan. Katanya sih baru kali ini rame banget yang nyaksiin akad nikah. Ntahlah pakah karena kehadiran ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid yang pada saat itu jadi penasehat kedua pasangan baru atau memang mereka murni antusias. Malamnyapun acara resepsi di gelar. Di gedung serbaguna komplek DPR RI yang malam itu disulap bak garden party. Konsep alam yang sangat aku sukai. Dan hebatnya lagi untuk pertama kalinya saya hadir dalam acara pernikahan yang Ukhwat dan Akhwaynya dipisah. Dibatasi dengan jejeran tanaman dan didominasi oleh tanaman pisang. Serasa dihutan saat itu. Ditambah lagi gemerlap lilin di setiap sisi ruangan yang tetap menyala di dalam batangan es batu. Semua makanan jajanan pun ada di sana, mulai dari mie ayam, bakso, pempek, siomay, soto, sate, es krim, dan bahkan rujak mie pun ada. Ditambah lagi berbagai macam potongan buah yang diwadahi bongkahan es batu di tengah ruangan. At the fist time datang ke acara seperti ini. Aku bersyukur sekali. Tidak hanya itu akupun bertemu dan salaman serta di sapa langsung oleh beberapa menteri yang sedang menjabat pada saat itu. Seperti mentri kesehatan, mentri pertanian dan pejabat penting lainnya. Namun itu bukan yang saya banggakan sebenar benarnya. Melainkan proses pernikahan mereka yang sangat aku kagumkan. Yang sesuai syariat Islam. Keluarga yang dibangun dengan pondasi islam. Bagaimana dengan kisah ku????? Proses pernikahan seperti kakakku yang ketiga - kekuatan cinta yang tiada tara seperti kakakku yang kedua - dan kemapanan hidup dalam keluarga seperti kakak sulungku. Bismillah, kalau aku disini sedang memperbaiki diri, InsyaAllah jodohku disana sedang memperbaiki dirinya juga. Amiiiiiin :)

Cerita Cinta Penuh Warna II

Kakakku yang kedua ini adalah seorang perempuan yang sangat tekun dalam bekerja. Tubuhnya gak tinggi-tinggi amat, bahkan saya lebih tinggi dari pada dia. Dia agak lambat menikah mungkin karena belum menemukan jodoh yang pas pada saat itu. Banyak laki-laki yang datang kerumah walau hanya sekedar memberikan bingkinsan makananlah atau sejenis buah tangan lainnya. Bahkan ada yang mengajak dia menikah saat itu juga. Tak jarang teman orang tua ku menjodohkan dia dengan anak-anak mereka, namun yang namanya jodoh siapa yang tau? Pada saat ada reunian akbar di salah satu Universitas Negeri di provinsiku. Ntah apa yang terjadi, yang jelas raut wajahnya jauh lebih enak dilihat sepulangnya dari sana. Berdasarkan pengamatan yang aku dapatkan sepertinya dia sedang berbunga-bunga. Dan ternyata benar. Mereka dekat - pacaran (LDRan) - Menikah. Acara resepsi pernikahan yang paling rame diantara kadua kakakku. Hebatnya mereka setelah menikah LDRan selama 2 tahun lebih. Cinta mereka itu loh yang bikin saya jadi tambah mengagumi keluarga ini. Bersambung...

Cerita Cinta Penuh Warna I

Ini kisah tentang ketiga saudaraku. Nyata dan nonfiksi. Mungkin aku terlihat aneh ketika kami berkumpul. Saya selalu merasa sendiri dikala keluarga besar menyatu. Bagaimana tidak aku dilahirkan 15 tahun berkelang dengan kakakku. Artinya ketika kami berkumpul, hanya aku yang belum memiliki keluarga (eeettts bukan maksud ingin segera nikah ). Awalnya saya mengira bahwa saya ini anak pungut kali ya, melihat dari kondisi keluarga saya yang aneh aja. Mereka pada kuliah sedangkan saya masih bersekolah dasar. Jarak ketiga saudara-saudaraku pun tidak berbeda jauh mulai dari 4 tahun dan 2 tahun. sedangkan saya???? 15 TAHUN. Pernah saya menanyakan hal ini kepada orang tua saya, hahah katanya saya dulu lahirnya heboh. seluruh tetangga mengantarkan orang tua saya ke rumah sakit umum satu-satunya di kota saya. Disana saya ditangani oleh 2 dokter dan 3 bidan. Saya mengeluarkan diri dari rahim dengan menyungsang, kondisi tali pusar yang meliliti leher dan hanya satu kaki yang saya keluarkan. Hingga akhirnya dokter mengatakan salah satu ada yang meninggal. Namun bapak saya saat itu tidak penah berputus asa, lalu dokter menyarankan untuk dilarikan kerumah sakit yang lebih besar yang terletak di ibu kota provinsi untuk di sesar. Pada saat itu Bapak sudah menanda tangani seluruh surat yang menyatakan bersedia di sesarlah, atau siap menerima kejadian apapun dilapangan termasuk kematian salah satu dari kami. Namun ketika ambulan telah siap mengantarkan kami dan taraaaa saya pun keluar dari cervix. Saya yakin 100% banyak air mata yang berlinang saat itu. Alhamdulillah ku panjatkan hingga detik ini. Kembali ke topik, sebenarnya saya sangat merindukan dimana ketika kakak-kakakku secara bergantian memberi nasehat, mengajarkan banyak hal, dan semua apa yang aku butuhkan di masa kecil itu ada. Tapi sekarang???? serasa anak tunggal sih kadang-kadang. Namanya juga hidup harus di syukurilah. Sebenarnya saya disini ingin menceritakan kisah perjalanan cinta (ceeeiiileeehhh..hahaha) saudara-saudaraku yang berbeda-beda. Baiklah pertama dia kakak sulungku, namanya Akbar. Seorang yang paing mandiri diantara kami bertiga. Paling bijaksana dan dewasa sangat. Tubuhnya cungkring yang melambangkan kegigihannya dalam bekerja. Jaman dulu, jaman jadul bahasa kerennya. Dia pernah bekerja di pulau Bangka Belitung. Hampir berapa tahun dia mengabdi disana. Hingga akhirnya dia jatuh cinta pada keturunan cina di pulau itu. Sempat sama-sama berkomitmen namun lambat laun komitmen kakakku terhadap wanita itu pudar karena mengingat komitmen awal dia yang tidak ingin berlaru-larut tinggal di pulau itu. Hingga suatu ketika dia diterima bekerja di kantor kelurahan Karang Anyar Palembang. Biasa hubungan ke RT-RT mah rutinitas. Keseringan itu yang membuat dia menjadi tambah sering ke rumah salah satu RT, ntah dengan alasan apapun dan ternyata si Pak RT memiliki seorang anak gadis satu-satunya. Setelah alasan seringnya dia kerumah tuh RT makanya Pak RT mulai jaga jarak sama dia. Tapi kakakku tidak begitu saja menyerah, mulai dari diusir sampe dimaki-makipun dia ga pernah jera buat kembali datang ke rumah tuh RT. Dan ternyata yang menyerah itu Pak RT nya. Dan di perbolehkanlah kakakku untuk mengenal lebih dekat anak perempuan satu-satunya Pak RT. Waktu berjalan begitu saja, mereka semakin dekat dan akhirnya menikahlah. Setelah itu baru taulah kalau si kakak iparku ini meninggalkan pacarnya ketika dilamar kakakku. Hahaha bukti kalo berpacaran lama-lama itu belum tentu jodoh. Sekarang mereka tinggal satu kota dengan orang tua ku. Boleh saya bilang dia cukup sukses membangun rumah tangga. Bersambung...