Selasa, 22 Oktober 2013

Ujung Genteng Ujungnya Keindahan

Bismillahirrohmanirrohiim, akhirnya gue berkesempatan menulis lagi. Kali ini gue bakalan ngajakin kalian menelusuri Ujung Genteng. "Ujung Genteng? Lu naik ujung genteng ki? kenapa? gentengnya bocor ya?" seabrik pertanyaan polos dari temen gue. Yakali gue si cewek femnim kek gini mau naik atap rumah terus benerin genteng gitu, gak banget lah kayanya.
Ujung Genteng itu bagian paling ujung Sukabumi dah, gimana kagak gue udah hampir mampus di dalam bus gara-gara jalan yang berkelok gak berenti-berenti. Naik turun bukit dan ssusah nemu kota. Ditambah lagi macet parah. Tidur-bangun busnya gak gerak-gerak, esmosi gue. Alhasil perjalanan gue memakan dan meminum waktu 11 jam. Iyuh banget, udah nyampe Jogjes itu mah. Perjalanan gue kali ini bareng anak Angsana Diploma IPB. Jadi gue nebeng gitu, gak mau jadi anggota tapi mau ikut kegiatan mereka wae. Hahaha gue emang egois, EMANG!
Jadi kita sengaja berangkat tengah malem, sekitar jam 1. Bilangnya sih supaya terhidar dari kemacetan. Sepik doang, di titik kemacetan butuh waktu setengah jam buat gerakin bus dan itu juga hanya 2 meter broh. Kebayang gak sih gimana betenya. Capek iya sih, apalagi beberapa jam sebelumnya gue abis jatoh dan lebam gede di kaki kiri gue. Ini semua gara-gara Dino ! Iya gara-gara Dino Ultah walopun gue dibayar dengan makan 2 porsi, dan satu porsinya kebuang. Katro sih gak bisa makan beef, itu piring hampir melayang saking kerasnya. Eh eh back to Ujung Genteng.
Dari kejauhan gue udah ngeliat lautan, kek pantai gitu. Beeeeeeehhh mata gue langsung melek broh, semua pegel-pegel ilang. Pengen nyemplung rasanya, nananna~ akhirnya gue bersenandung. Gue kira setelah gue ngeliat pantai otomatis gue bakalan nyampe dalam waktu 15 menit lagi lah paling lama, dan ternyata gue salah besar broh, hampir satu jam gue bener-bener baru nyampe. Setiba di villa gue laper berat, seafood pun siap disantap. Sejujurnya gue gak suka acara kek ginian, maksudnya gue gak suka kalo jalan nebeng-nenbeng orang gitu, selain gue gak free dan tergantung susunan acara yah gue juga gak suka diatur-atur. Jalan-jalan kok diatur, kumaha ih. Tapi namanya juga nebeng organisasi orang. Ada dua hal yang bikin gue nafsu berat buat nebeng, pertama karena akses menuju sini teh jauuuuh deui, kedua karena setelah gue pikir-pikir dan hitung-menghitung biaya yang dikeluarkan jauh lebih slim kalo ikut nebeng. Gue bersyukur banget bisa nginjakin kaki di Ujung Genteng. Dari semester pertama gue pengen ke sini, searching-searching ampe gak pernah bosan dan akhirnya uuuuukhhhh, Thanks God :)
Menurut cerita, jarak tempuh normal dari kota Bogor mah cuma 8jaman gitu, mungkin karena macet parah jadi 11 jam. Medannyapun beragam, mulai dari jalan lurus, padat penduduk, sepi, padat mobil, berkelok, sampe jalan berbatupun kita lalui.
Ujung Genteng, mata gue pertama kalinya disampbut pantai yang bercadas dan ombak yang gak terlalu besar. Terdapat karang-karang dimana biasanya para pencari ikan atau akrabnya dengan nelayan akan menyandarkan perahu mereka di cadas ini.
Pemandangan yang bisa gue liat langsung dari villa ini begitu menentramkan. Seketika gue pengen pindah ke sana, selain sunyi dan fresh banget gue juga suka suara air lautnya. Itu belum seberapa, sesuai namanya Ujung Genteng semakin ke ujung semakin keren, semakin ketemu sense surga kecil-Nya.
Setelah makan dan segla macem, acara selanjutnya adalah ke Penangkaran Penyu. Disana kita diberi materi dan melihat anak tukik di lepas ke lautan secara langsung. Sayangnya anak tukik gak bisa kita pegang karena bakalan mengurangi sensor pengingatnya terhadap tempat dimana dia dilahirkan yang bertujuan agar ketika dia siap bertelur dia akan kembali ke daratan tempat pertama kali dia menetas. Biasanya di Penangkaran Penyu ini dilakukan pelepasan secara masal di jam 17.30an ketika matahari mulai terbenam. Selama menunggu jamnya gue main dulu broh di pantainya sambil berburu sunset.
oh ya gue juga vidioin loh
Ini foto pelepasan tukik, lucu pisan. Syang gak bisa dipegang.
setelah puas ngeliat anak tukik yang terombang ambing di bibir pantai, gue pun akhirnya pulang ke villa. Dengan kondisi muka khas gembel gue, guepun akhirnya memecahkan rekor mandi ber-6 di kamar mandi. Bersama orang-orang yang baru dikenal lagi, hahha kocak dah (its not to expose).
Malam pun begitu cepat menjemput, kita diharuskan naik ke bus untuk melihat penyu naik dan bertelur di bibir pantai. Usia relatif buat penyu bertelur adalah 28-30 tahu. Ebuseeeet tuir mat yak. Dari 1000 tukik yang dilepas hanya akan ada 1 penyu yang kembali bertelur di sana. Penyunya pun akan mencari makan samapai Lautan Australi. Gileeee ! Pake visa gak ya?
Selama melihat penyu yang naik ke bibir pantai, kita dilarang keras buat bawa barang yang bisa mengeluarkan cahaya. Karena itu bakalan menghalangi penyu-penyu lain yang akan naik ke bibir pantai. Penyu sangat sensitif dengan cahaya, kecuali cahaya merah.
Disaat penyu bertelur dia kan mengeluarkan cairan dimatanya (seperti menangis)yang fungsinya untuk mengurangi tingkat kepedihan karena diamatanya terdapat kelenjar sekresi garam di belakang matanya.
Karena penyu sangat sensitif maka kamipun harus hati, penerang yang sempurna dari bulan. Bisu gue bener-bener bisu. Pertama kalinya gue ke pantai malem-malem. Pemandangan rembulan dan ombak yang indah broh, speachless gue. Tiba-tiba kangen orang rumah, tiba-tiba kangen temen gue dan tiba-tiba kangen Mamang. Owalah, seandainya gue bisa menikmati indahnya malam ini bersama mereka. Lebih dari kata perfect yang bisa gue lukiskan malam itu. Mungkin suatu saat :)
Kali pertamanya ngeliat penyu dan ternyata gede pisan euy.
Esoknya gue puasa dan hunting foto selama anak-anak breakfast. Airnya jernih euy.
Setelah puas hunting dan nyari oleh-oleh buat temen kosan tercinta (kerang) gue pun akhirnya diharuskan naik bus, kali ini kita ke pantai yang jauh lagi, yang lebih ujung lagi. Namanya pantai pasir putih. Jauuuuuuuh men jauuuuh jalan kaki sekitar 15-20 menit dari pemberhentian terakhir bus (kita menggunakan bus pribdai, dissarankan untuk menyewa motor aja). Panas dan jalan yang gersang membuat niatan ini menjadi surut. Semak-semak bakau dengan jalan yang tandus gak rata adalah jawaban dari keindahan yang sesuangguhnya. Setelah gue ngeliat pantainya dari balik semak-semak bakau guepun langsung teriak dan lari sekenceng-kencengnya "GILAK KEREN" bersih banget, pasirnya halus, ombaknay teratur, luaaaaasss dan sepi. Serasa pantai milik pribadi. Seketika gue melupakan jalan yang gue tempuh tadi. Terbalaskan sangat.
Gak cuma pasirnya yang lembut disini juga terdapat karang-karang yang menjulang tinggi dengan permukaan yang tajam. Gak masalah buat gue, sekalinya kaki ini adalah korban utama dari keindahan yang gak bisa disebutin. Rekomendasi banget dah. Pecaham ombaknya juga gak kalah keren. Sempurna lah sudah.
Setelah puas menelusuri karang yang tajam itu, akhirnya gue dipaksa pulang. Saking bandelnya gue diteriakin sama anak-anak. Ini nih yang bikin males -,-
Gue masih penasaran sama jalan yang semakin ke ujung, sepertinya bakalan ada kejutan lagi dah. Penasaran gue dikalahkan waktu dan gue harus back to Bogor. Lusa gue Ujian Praktikum soalnya.
Alhamdulillah masih bisa menikmati surga kecil-Nya. Berhubung besoknya adalah hari raya idul adha, so kita takbiran di perjalanan yang penuh kemacetan. Terima kasih ya Robb, janji bakalan kesana lagi dah bareng sahabat-sahabat tersayang untuk menelusuri ujung-ujungnya lagi:)
Terima kasih Ujung Genteng yang semakin ke ujung semakin keren.

Minggu, 18 Agustus 2013

Masa SMA - Masa Remaja di Gedung Berlantai Tiga

“Ceremony begin”, “morning assembly begin” – “attention! To the front present arm! Order arm!” – “report ten two complete, eleven sains four one sick and two permition, twelve sains one all sweets report finish” – “oke report accept, comeback!” – “comeback” *balik kanan, kembali ke barisan. – “Report ceremony begin” – “comeback!” – “ladies and gentleman, Assalamu’alaikum wr.wb. Firstly I wanna say thanks to the God bacause I can stand up here with good condition, and the second I would like to say thanks to my classs advisor Miss … and my classmate… *yel-yel kelas*. Oke in this afternoon/ morning I wanna bla bla bla….”
Itu kata-kata yang tiap pagi sore gue denger pas apel pagi maupun sore. Ketika kata-kata itu terdengar di pagi hari, hal yang pasti dilakukan adalah berlari kencang dari pos satpam sembari melemparkan tas ntah kemana berharap buku poin tidak diisi. Atau di sore hari, satu kelas akan berlari meskipun di lantai tiga tabrak-tabrakan nyari sepatu dan bahkan tidak jarang memakai sepatu di barisan. Itu jaman SMA. Jaman dimana masa remaja gue dihabiskan begitu saya di gedung bertingkat tiga.
Berangkat dari rumah jam 6 pagi, apel pagi lalu pulangpun tak jarang di angka jam yang sama. Yah pulang jam 6 sore ketika satpam memaksa pulang. Menghabiskan waktu walau hanya bergitar bernyanyi ria, menari-nari indah di lapangan basket dengan sepatu PDH atau hanya memakai kaos kaki saja. Jauh lebih mengasyikkan dari pada harus pulang ke rumah. Bubar dari barisan apel sore (16.20) biasanya saya dan segelintir teman saya akan berlari-lari kecil mengejar mamang pentol di depan gerbang sekolah. Menikmatinya bersama teman di sudut-sudut sekolah sungguh itu momen gue banget. Melihat anak asrama yang menyegerakan ganti baju untuk bermain voli atau bahkan futsal udah biasa banget. Masa-masa gue dimana remaja gue bukan seperti mereka yang menghabiskan waktu bermain dengan geng motor atau mungkin makan kesana kemari, jalan sana jalan sini. Kalo gue? Yah hanya sebatas pagar sekolah, gak ada baju-baju bagus untuk bermain, karena yang gue tau cuma baju sekolah dan sekolah.
Cukup betah menghabiskan masa remaja di dalam ruang ber-AC kedap suara dan dilengkapi proyektor dan speaker. Sekedar untuk menonton film ala bioskop di kelas ketika jam pelajaran kosong. Meja dan bangku yang nyaman, tak jarang tidur di kelas yang bersih itu walau kita tak pernah piket. Ini masa gue banget, jam kosong dihabiskan dengan menonton atau bermain kartu sambil makan-makan di kelas. Walaupun ada CCTV, tak masalah sedikitpun karena jarang ada yang jaga CCTV dari kantor. Guru-guru muda datangan dari luar kota yang disaring begitu ketat. Bagaimana tidak ini sekolah RSBI. Sekolah Adiwiyata. Sekolah gratis dengan fasilitas fantastis. Makan siang dan asramapun GRATIS! Ah lupakan kalian pasti ga sanggup denger.
Dulu waktu kelas sepuluh, saya terkena syndrome Smanda, dimana gue shock harus menerima kenyataan untuk menggunakan bahasa Inggris disetiap pelajaran. Gimana mau nyerap pelajaran kalo itu guru ngomong apa juga gak ngerti. Apalagi pake kurikulum IGCSE, ampuuun itu buku apa banget lah. Tebelnya gak ketulung, harus dibawa tiap hari lagi. Yang gue ingat buku yang paling tipis itu buku Bahasa Inggris dan yang paling tebel itu Matematika. Udah tebel, pake Bahasa Inggris lagi yang ngajar juga serem-serem lagi, hukumannya aneh-aneh kadang keluar kelas muka penuh coretan spidol gara-gara gak ngucapin dalam Bahasa Inggris atau kalah dalam game. Perlengkapan sebelum masuk kelaspun melebihi perlengkapan tentara ketika mau perang melawan sekutu. “ my dear students, don’t forget to bring bordmarker, nametag, oxford dictionary, calculator, blab la bla ha ho ha hoo” apalah itu. Itu masa terkelam gue selama SMA. Masa dimana pertumbuhan gue tehambat gara-gara harus membawa buku tebelnya ampun dah.
Setelah gue menginjak kelas sebelas, perubahan 100 persen terjadi. Bagaimana tidak saya bertemu mereka orang-orang yang sealiran sama saya walopun kita Cuma berlima belas. Kocak parah. Gila parah. Ini masa-masa gue yang gabisa lepas dari otak gue. Masa dimana gue minggat dari kelas, masa dimana hukuman datang bertubi-tubi, gak masuk pelajaran berkali-kali, males moving class, mulai mengenal dunia malam walau hanya minum es kelapa muda atau menggigit sekutil pempek panggang, menghabiskan waktu berjam-jam di kantin, masa gue mulai mengnenal mencontek dengan cara tidak halal, bolos sekolah hanya untuk karoke, dancing setiap pelajaran kosong, royalitas antara teman sangat nyata, gak pernah ada masalah dengan duit, pertama kali gue nangis bareng satu kelas, sekecil apapun momen itu passti dirayakan, tidur bareng dalam satu ruangan ketika menjelang ujian, makan satu untuk semua,pelukan sampe impit-impitan ketika lampu padam, cerita, bernyanyi tiada batas, membuat mereka semua iri dengan solidaritas kita, masa-masa jaya gue selaku seorang remaja. Gue kangeeeeeeeeennn :’(
Sampai saat ini, dunia gue melekat banget sama mereka. Duniapun tahu akan hal ini.
Setelah kelas dua belas? Inilah masa gue mulai merangkak dewasa, memulai keseriusan belajar. Kalo kelas sebelas gak pernah ngerjain PR. Kalo sekarang ada jam kosongpun ngerjain soal-soal. Saatnya gue move on dari masa remaja gue. Move on dengan merangkak, mencari bibit-bibit yang tersisa yang sealiran sama gue. Hanya sedikit, karena guru begitu tau kita seperti apa, merekapun memisahkan kita hingga rangkaian terkecil. Tak masalah, disini dalam rangkakakan gue menuju kedewasaan, gue dibimbing temen-temen yang begitu lunak hatinya untuk menerima saya, mengajarkan saya banyak hal. Membantu saya move on. Ini kelas yang berkesan, walau di awal wali kelas saya yang kebetulan guru dekat saya sewaktu kelas sebelas begitu banyak motivasi untuk move on. Ah masa-masa SMA gue emang gak akan pernah bisa ditumpahkan disini sepenuhnya.
Kangen tidur di toilet sambil nonton film bareng temen-temen (aseli toiletnya wangi and bersih), kangen juga mandi masal di toilet sekolah sembari melemparkan sabun dari kamar mandi ujung satu sampai keujung lainnya. Teriak-teriak “wooiii sabun woooiii!” kangen rebutan wifi satu kelas “minggir woi jangan disini, ntar jaringannya lemot”. Kangen beli kaos kaki yang rutin bolong. Kangen lari-lari ke cafeteria hanya untuk menebak hari ini makan lauk apa. Kangen diteriakin guru kalo lagi makan sendok gak boleh bunyi, makan gak boleh bersuara, atau bahkan “WAKTU TINGGAL 5 MENIT LAGI!” hahahhah antrian panjang hanya untuk mengembalikan piring kotor. Kangen sholat berjamaah di kelas. Kangen dihukum gara-gara makan salah gelombang sampe diumumin di apel. Kangen bikin yel-yel kelas ketika kelas jadi master of ceremony. Kangen gak buat PR satu kelas terus dihukum hormat tiang bendera. Kangen moving class sambil lari-lari eh macet di tangga gara-gara semua kelas pada moving class. Kangen ketika harus baris di belakang hanya untuk menyembunyikan kalau ada perlengkapan yang lupa dipakai (entah ikat pinggang, dasi, topi atau name tag) Aaaaaahh so many. I realy miss it !


Rindu Itu Seperti Apa?

24 Mei 2013 – 2:11 PM
Jemari ini rindu akan keakrabannya bersama keyboard yang berdebu ini. Masih dengan laptop yang sama, kali ini ia menjadi saksi kebisuanku dalam lamunan. Seperempat malam ini menyuguhkanku kenangan-kenangan akan bangunan tua yang berada di tengah kampung. Dibangun berdasarkan hasil jerih payah kerukunan keluarga. Menguak semua yang pernah terjadi. Kesunyian malam ini memberikanku memutar otakku, memutar balikkan pikiranku untuk mengingat bangunan tua yang bertahun-tahun memberikanku pengalaman hidup. Kasih sayang dan kehangatan itu sudah terasa sampai ribuan radius kilometer. Sayang, semunya tidak dapat terdeteksi sampai ke kota perantauanku ini. Merindukannya? Daun itu merontokkan dirinya dari dahan yang sedikit mengering, memberi keikhlasan akan nutrisi yang tak mampu ia suplai kedalam struktur selnya. Seperti halnya membiasakan diri untuk tidak berkutat pada sebuah kenangan. Membiasakan diri tanpa kabar sekalipun itu hal yang kurang patut diterapkan dalam pembalasan budi.
Angin itu menggerakkan ranting yang terbeban daun, menggoyangkannya dengan ritme yang menenangkan. Menenangkan bagi siapapun yang menikmatinya. Menghipnotis pikiran akan masa lalu. Dimana ketika kesenangan dan kebersamaan itu nyata. Bukan sekedar kepingan-kepingan yang sulit untuk disusun kembali. Kepingan yang tak berbentuk mainan puzzle. Kepingan itu tak akrab dijemariku, bahkan sangat membingungkan, apa yang sebenarnya terjadi? Masalaluku dan perjuanganku sekarang.
Seperempat malam ini, seperempat umur hidupku. Seperempat khayalan yang akan membawaku dan keluargaku menuju evolusi perubahan kejiawaan yang baru. Seperempat masa itu, untukku. Selebihnya waktu bersama evolusi kesuksesanku akan kuhabiskan dan kuserahkan semuanya untuk keluargaku dan mereka yang tersayang. Seperempat hati kecilku lagi mencari. Mencari seperempat kepingan hati untuk jalan kehidupan yang sebenarnya.

Minggu, 14 Juli 2013

Ini Tentang Gurauan

Ini tentang ungkapan dosen agamaku di pertemuan terakhirnya. Tentang tebak-tebakannya yang menggalaukan semua anak PVT, tidak terkecuali saya. Inipun saya kaitkan dengan liburan saya di Jogja beberapa hari yang lalu. Bukankah semua bisa dibaca dari raut wajah? Bukankan semuanya dapat terlihat dengan jelas ketika hal itu spontan dilakukan? Aku hanya mengira semuanya tidak akan seperti ini. Ntahlah apa yang mengusikku, hingga omongan dosenpun mempererat khayalanku. Meyakinkanku pada satu hal, satu harapanku. Binar yang keluar dari benda berbentuk elips itupun tidak bisa aku pungkiri, gerakan spontan yang ditunjukkanpun mencerminkan semuanya. Apakah aku yang terlalu berobsesi sehingga semuanya terlihat sinyal positive di mataku? atau semuanya hanya gurauan dan harapan yang terbentuk karena keinginanku yang besar? Mungkin sama sekali ini tidak ada dipikirannya. Tidak ada ! Ntahlah, mungkin waktu tau seberapa serius dan pantaskah aku menerima jawaban. Yakin, apapun itu pasti yang terbaik :)

Selasa, 09 Juli 2013

Pantai Ngobaran (Balinya Gunung Kidul)

Jreeeeng-jreeeeeeeeng akhirnya jemari ini mulai bermesraan kembali dengan keyboard. Kali ini saya akan membahas tentang liburan saya ke Yogyakarta beberapa hari lalu. Berawal dari nekat traveling sendiri menggunakan bus dari Kota Hujan ke Kota Pelajar, yang kira-kira memakan waktu 24 jam kurang. Akhirnya saya tiba dengan selamat sejahtera aman sentosa. Dengan membawa koper dan seperangkat alat sholat, serta beberapa buah tangan yang sengaja saya beli biar menarik perhatian "ojeg-ojeg" di sana. Yah, itu merupakan salah satu trik saya agar sedikit mengurangi budget selama berlibur di sana. Hehehehhe.
Saya fokuskan untuk memusatkan cerita saya ke salah satu pantai yang bikin mata dan hati saya jatuh cinta. Sebelumnya saya pengen cerita dulu teantang kebegokan saya dan patner jalan saya ketika berusaha menemui pantai ini. Sekitar pukul setengah satu siang, dengan disambut teriknya sinar matahari Kota pelajar itu, saya dan patner jalan saya memulai aksi dengan membawa bendera merah putih, memakai sepatu boat, membawa peralatan seadanya seperti pisau, gunting kuku, gunting rambut, maskeran, jas hujan dan beberapa cabai hijau untuk siap dihidangkan, menggunakan ikat pinggang dan maaf semuanya hanya fiktif belaka. Tidak ada modal yang lebih dari kami kecuali modal ingatan patner jalan saya. Jujur, awalnya saya meragukan dan ternyata benar. Setelah hampir 4 jam di perjalan dengan melewati belahan bebukitan karst di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Dilanjutkan pemandangan hutan pinus yang membuat saya merasa lagi syuting film Breaking Dawn, sayang tidak ada picture yang saya ambil di sana. Menanjaki dan meuruni setiap jalan yang berliku, sampai ban motor kitapun kempes. Akhirnya kita tiba di Pantai Baron. Yah, bukan pantai yang menjadi sasaran awal perjalan kita, namun karena hari hampir senja dan kelelahan menghantui kita akhirnya mau tidak mau pantai ini menjadi tempat berlabuh. Tidak ada suara desiran hantaman ombak yang begitu keras, hanya ada beberapa kapal nelayan dan wisatawan domestik yang mengunjungi pantai tersebut. Jujur kecewa, dalam hatipun bergumam, ini mah Pantai Ulpa yang ada di Musi Banyuasin. Hahaha. Hanya beberapa menit duduk dan menyewa tikar di bibir pantai, hujanpun mengguyur. Pulang dengan mendengus kecewa dan berlapis rasa khawatir akan jalan pulang ternyata lebih menakutkan dari pada kuis fisiologi. Biasanya tersesat di tengah hutan beton dan sekrang benar-benar tersesat di hutan yang sebenar-benarnya hutan. Hampir 3 jam berlalu, dengan rute yang berbeda akhirnya sampai juga dikeramaian. Senengnya bak dicium pangeran tamapan dari Kerajaan Cinderella. Lupakan tentang Pantai Baron.
Ini dia Pantai Baron - Yogyakarta
Maaf gambarnya copy dari google, abisnya males foto di sana. Haha
MOVE ON !
Nah ini dia pantai pertama yang buat saya kangen pengen ke sana terus. Mengingat medan yang ditempuh cukup jauh dan lumayan menantang, namun tidak ada penyurutan atas keinginan saya ke sana. Ditempuh dengan jarak kurang lebih dua jam dengan menggunakan kendaraan sepeda motor dari kota Yogyakarta, saya tiba di Pantai Ngobaran. Jalan yang berliku dan naik turun memacu sedikit andrenalin ketika kendaraan saya meningkatkan kecepatan. Saya tidak pernah tau jalan menuju ke pantai ini, dengan bermodalkan bisa baca dan berani bertanya, saya mengikuti setiap papan petunjuk yang tersedia dan setiap belokan yang membingungkan spontan muka saya menebal lalu bertanya.
Pantai ini ternyata tidak terlalu terkenal dibandingkan dengan pantai-pantai yang lainnya. terlihat dari papan-papan petunjuk yang banyak menunjukkan arah pantai-pantai yang lain seperti Pantai Kukup, Pantai Baron tempat saya tersesat 2 hari yang lalu sebelum saya pergi ke Pantai Ngobaran.
Mulai dari jalan akses menuju pantai yang tidak sebagus akses jalan menuju Pantai Baron. Pantai ini melewati perkampungan yang masih terjaga keasriannya dan melewati bebukitan karst yang dulunya adalah dasar lautan (Daru's said). Penduduk di sanapun juga ramah, terbukti setelah kami melewati jalan menuju pantai tak segan kita saling melemparkan senyum. Kata kerennya sih dari pantai ini adalah Balinya Gunung Kidul.
Pertama kalian datang ke sini, kalian akan disambut dengan patung-patung Budha, dan miniatur stupa-stupa yang kaya di Candi Borobudur itu loh. Disana ada Patung Ganesha, Patung Brahmana, Patung Syiwa dan banyak patung-patung lain.

Salam Pembuka Pantai Ngobaran - Pantai Ngobaran

Setelah itu matapun dimanjakan dengan pemandangan laut lepas dan bukit-bukit yang menjulang nan-tinggi. Pemandangan karangpun membawa kaki ini menuruni puluhan anak tangga. Terdapat kolam-kolam kecil di sekitar sana, dan tepat ketika kita sedang mengunjungi tempat itu dua orang wanita lagi mandi nyebur di kolam air tawar "katanya". Walopun kolamnya berada di bibir pantai dan bercampur dengan air asin tapi katanya Bapaknya yang ada di sana airnya tawar. Dan saya belum mebuktikannya.


Bukit-Bukit Karang - Pantai Ngobaran

Karang-Karang yang tajam pun membuat saya tertantang dan bahkan rela memksakan badan mengecil sejenak untuk melewati sela-sela bukit karang. Hehehe
Melewati Sela-Sela Bukit Karang - Pantai Ngobaran

Tidak cukup hanya itu, saya pun mencoba tiduran di atas hamparan bebatuan yang katanya Calon Bapak Geologist tahun sekian, batu yang berjenis batuan kapur ini terbentuk dari sisa-sisa organisme laut, seperti karang dan siput-siput laut yang udah die !
Hamparan Batuan Kapur Bulat-Bulat (HAHA) - Pantai Ngobaran

Karena ombaknya tiba-tiba naik, maka sayapun ikut mengampung dan terombang-ambing, akhirnya sayapun terhempas babak belur dan terdampar di salah satu bukit yang menjulang di menyembunyikan pantai. Yah, tempat yang paling eksotik yang pernah saya temukan. Dari atas sana saya bisa melihat dua panat yang berbeda, eh maksudnya tiga kategori pantai yang berbeda. Pertama yaitu pantai dengan nuansa bebukitan karang yang tajam, yang kedua pantai dengan nuansa padang rumput laut yang menghijau dan terdapat banyak biota laut disana (Bintang laut, "Umang-Umang", dll), dan yang ketiga adalah pantai dengan nuansa pasir putih kasar yang terbentuk dari campuran pasir dan pecahan karang ataupun kerang. Tapi hati-hati tidak jarang ditemukan sisa-sisa sesajen di sudut-sudut tempat.
Menuju Puncak view terindah yang Melelahkan - Pantai Ngobaran

Salah Satu Puncak Tempat Melihat View Terindah

GALERI FOTO

Bibir Pantai - Pantai Ngobaran

Oke sekian tentang Balinya Guning Kidul, semoga bermafaat dan tertarik untuk ke sana. Saya sarankan untuk tidak mengajak tourguide yang abal-abal seperti patner jalan saya. Hehehe thank you so much Mang, walopun harus sesat berulang kali.
Note : Tidak ada biaya tiket masuk (Juli 2013) hanya membayar pakiran saja (Rp. 2000)

Tourguide Abal-Abal
Thank You For Reading, and Dont Miss It yak :D

Senin, 03 Juni 2013

Diesnatalis Diploma IPB ke-7

Diesnatalis Diploma IPB ke-7 ini diselenggarakan di depan panggung serbaguna yang berada di kampus Gunung Gede Diploma IPB. Dengan pakaian yang cukup santai dan sedikit merapikan penampilan, tujuan awal saya adalah makan gratis. Tidak pernah munafik tentang fakta anak kos. Inilah masa-masanya memburu kata "gratis". Tidak ada perlengkapan lain yang harus saya bawa sekalipun itu hanphone. Namun saya membawa teman yang superduper buat saya merasa pede di depan orang, pede berkenalan dengan orang, pede mengekspresikan siapa saya yang sebenarnya, pede berkoar-koar tentang apapun yang saya pikirkan. Kali ini kita berjalan dengan tema "say hay to everyone".
Mengelilingi stand-stand yang tersedia, diawal masuk gerbangpun snack telah memanggil-manggil seluruh alam. Sayang, yang berhak mendapatkan snack itu hanya dan hanya boleh Kak Jesi, karena dia adalah tamu kehormatan alias tamu tuir alias alumni. Suasana ramai, asik, seru, gokil, semuanya bercampur satu. Hingga cerita kamipun dimulai.
Stand pertama yang kita kunjungi adalah stand dari Program Keahlian Perikanan, aneh dan sungguh teramat aneh. Dan keberanian untuk nanyapun dengan sigap meloncat dari sarang mulut ini. Bertubi-tubi pertanyaan tentang ular saya muntahkan, termasuk kenapa belasan ular itu harus berada di stand itu. Benakpun berteriak bak gorila kelaperan "GAK ADA NYMABUNGNYA BEDOOOOON, INI IKAN KENAPA JADI ULAR GINI?" Jawaban yang biasa aja, santai, mukanya datar "saya hanya numpang". Miris, kasihan, dan mukanya yang tanpa ekspresi itupun langsung saya tangkis dengan senyuman sembari berkata "Kenapa ga numpang di stand PVT aja, itu stand saya" dan dia mencoba memberanikan saya untuk memegang ular yang segede lengan itu tanpa memikirkan bahwa saya itu phobia sama yang kaya gituan. Alhasil standnya saya tinggalkan dengan sebagian bulu kuduk berdiri tegak. Baru menyadari bahwa teman saya sedang menjadi tontonan anak-anak yang sedang berkunjung ke acara Disnatalis ini. Sempat kaget, nahan ketawa dan akhirnya tertumpahkan setelah saya meyakinkan diri bahwa itu Kak Jesi. Menjadi pusat perhatian orang dengan berbagai macam suara tawa menggelegar dari seluruh penjuru area. Bagaimana tidak dia berteriak dan lari-lari ketika mas nya memberikan ular, ketika tupai terbang melonca ke arah mukanya, dan ketika biawak tepat di sebelahnya. Semua mata tertuju pada kita yang pada saat itu tepat berada ditengah-tengah lokasi. Malu, sekalian ngeksis sepertinya membantu penebalan lapisan epidermis muka kita. Sampai akhirnya keberanian itu muncul satu sama lain. Dimulai dari teman saya Rokhmat dan Kak Jesi yang memberanikan diri bermain-main dengan ular, dan rasa ketakutan yang amat mendalam di dalam diri sayapun sedikit menghilang dikala teman saya Gita memberanikan diri memegang ular. Benakpun meringis "Kenap Gita bisa, padahal dia anak perkebunan yang tidak pernah menggubriss tentang hewan. Sedangkan saya? seorang Paramedis Veteriner yang dunia kerjanya memang seperti dan di bidang ini". Thanks God, dengan berbekal ilmu yang ada, motivasi diri yang kuat, support teman yang sangat mempengaruhi mindset saya.
Memegang ular jangan pernah dengan rasa takut, karena dampaknya akan pada diri kita. Ketika ular tidak merasa nyaman dengan sentuhan tangan kita yang dialiri rasa takut, geli dan ngeri, ular tersebut akan lebih banyak bergerak karena ketidak nyamanan itu. Itu kan membuat kita lebih sulit untuk meng-handle si ular. Dan saya terapkan apa yang dosen saya pernah bilang bahwa memegang hewan itu haruss dengan perasaan yang kasih. Jangan pernah kasar, karena hewanpun tau, mana yang baik dengan dia, mana yang sayang dengan dia, ataupun yang jahat.
Ini foto saya pertama kali memegang ular


Dan ini foto kita memegang ular (Rokhmat, Jesi, Kiki, Ayu)


Kepuasan tersendiri untuk kita terutama saya. Akhirnya kitapun melabuhkan kaki di stand anak Rohis Diploma sembari mengasapkan diri di dekat jagung bakar. Hasrat makan jagungpun menggebu-gebu, saking menggebunya kitapun membatu yang jualan membakar jagung. Semangat banget kalau jalan bareng mereka, ekspresi itu ada dan keluar. Mendapat kenalan baru yang ternyata orang Prabumulih. Dengan mengakrabkan diri menggunakan bahasa daerah, kitapun akhirnya bercengkrama sembari mengkipass-kipas jagung. Asap mengepulpun tidak jadi penghalang mulut untuk tertutup, terbahak-bahak itu nyata di tengah keramaian acara malam itu.
Menjadi penjual jagungpun kita sanggupin untuk beberapa menit berikutnya.


Tidak hanya sebatas menjadi penjual jagung, kitapun menjajakan Ice Cream. Denga modal mulut toanya Kak Jesi, semuanya akan lebih indah. hahahha termasuk ketongosan gigi inipun kita peragakan di tengah-tengah keramaian malam itu. Beberapa orang yang dapat saya tangkap sedang menertawakan kita. Whatever lah yang penting happy.


Karena kita kocak dan jiwa itu memang mengalir apa adanya. Akhirnya ssayapun membutuhkan waktu setahun untuk menemukan kehidupan saya kembali yang hampir punah. Yah karena kita dipertemukan dalam keadaaan yang tepat. I'm lucky to have them.
Adanya makanan gratis yang dissedian di acara ini membuat acara yang berlangsung semakin seru. Terlihat jelas ketika kita ikut meramaikan antrian Ronde yang wuuuiiih kalau tidak hati-hati kepalapun bisa masuk kedalam panci jahe. Meraup gorengan dengan menggunakan tangan telanjang membuat suasana semakin WAW karena teriakan itu menggelikan. yah, terikan kepanasan. hahhaha semua yang terjadi begitu natural dan mengocok perut.

Menikmati Semangkuk Ronde


Taraaaaaaaaaaa, tibalah diakhir acara. Ketika semua makanan gratis telah habis, kitapun menikmati pentas panggung, kemeriahan panggung, motivasi-motivasi dari alumni, tari daerah, penampilan band yang membuat kita serasa nonton inbox, dan bahkan standup comedy. Sayang, Raditya tidak dapat hadir, dan digantikan dengan... (lupa namanya).

Semuanya akan indah jikalau apa yang dilakukan itu dengan menggunakan style sendiri. Tanpa mempedulikan tawa mereka yang tidak membangun, sortir dan jadikan tawa itu sebagai motivassi untuk berani tampil di depan umum. Menjali hidup dengan menjadi diri sendiri akan jauh lebih menyenangkan dari pada harus hidup dengan aturan dan style orang. Karena kita hidup untuk diri kita, bukan untuk orang. Follow your heart. Konbanwa minasaaaaan :D

Selasa, 4 Juni 2013 - 2.18 PM

Selasa, 19 Maret 2013

Pantai Trikora

Perjalanan ditempuh kira-kira dua jam dari kota Tanjung Pinang. Itupun saya mengendarai motor dengan begitu lambannya. Mengingat saya baru kali pertamanya menempuh medan menuju pantai yang paling digemari pelancong lokal.
Rute yang cukup melelahkan, melewati padatnya kota Tanjung Pinang dengan segala kemacetan di lampu merah. Atau bahkan keadaan jalan yang tidak saya sukai. Naik turunnya yang membuat saya harus rutin memainkan gigi motor ditambah dengan cuaca yang begitu menyengat. Pantai ini terletak di Desa Malang Rapat, Kecamatan Gunung Kijang, sekitar 45 kilometer arah timur Kota Tanjungpinang. jalanan yang mulus membuat saya merasakan kenyamanan. Pepohonan yang tinggi membuat suasana menjadi adem ayem seeeerrrh dah.
Saya merasakan sensasi kampung halaman, tanaman karet yang menyapaku disepanjang jalan. Memasuki daerah perkampungan saya melihat banyak lampion-lampion yang menggatung disepanjang jalan. Mengguntai indah, warnah merah memberikan kesan yang penuh dengan keceriaan. Seperti penduduk kampung itu mungkin. Melambangkan mayoritas agama yang dianut diperkampungan itu adalah konguchu. Klenteng-klenteng tampak ramai saat itu. Ntah lah akupun kurang memahami tentang apa yang mereka lakukan. Melanjutkan perjalan menuju pesisir pantai, bau khas dari ikan mulai mengusik, mengajak berdansa silia olfaktori ku. Yah, tentunya bau itu berasal dari kapal-kapal nelayan yang sedang bertengger di bibir muara sungai tapat di bawah tempat dimana saya melintaskan ban motor.
Melajukan motor dengan menikkan kecepatan menandakan saya bahwa saya sudah tidak sabar ingin segera menemui bibir pantai nan seksi itu. Tulisan selamat datang di kawasan wisata pun membuat saya semakin bersemangat. Ditambah dengan suguhan pemandangan jajaran pohon kelapa yang membuat saya terkagum-kagum. Saya yakin Anda pasti akan sependapat dengan saya. Berpikir sejenak, mengandai-andaikan bagaimana masnyarakat di sini mengelolah hasil alam yang melimpah ini. Saya rasa es kelapa muda disini tidak begitu laku. Ataupun kalau laku pasti dijual dengan harga yang relatif lebih murah dari pada di daerah yang tidak memiliki pohon kelapa sebanyak mereka.
Memauki kawasan Pantai Trikora satu, bentangan lautan tidak begitu jauh jaraknya dari jalanan tempat dimana biasa dilalui pelancong. sehingga pemanjaan mata yang diberikan alam Trikora ini melemaskan tangan saya untuk menahan ga motor. Resort-resort yang bertebaran sepanjang pantai sepertinya hari ini cukup ramai dikunjungi. Duduk-duduk santai para penikmat alam itu membuat kaki kiri saya sedikit menekan ke bawah. Kalau saja saya tidak dipandu kakak, mungkin saya akan berhenti sejenak untuk sekedar berfoto ria disana.
Melanjutkan perjalanan dengan jarak tempuh sekitar 3 - 5 menit tidak begitu membosankan. Di Trikora 2 tidah begitu banyak yang mebuat saya terkesan. Mungkin karena saya terlebih dahulu telah dijanjikan dengan pemandangan yang lebih dari itu.
Tanjakan yang tinggi dan tidak bisa dikendarai dengan gigi 2, membuat energi saya sedikit terkuras. Tidak masalah, dibalik bukit itu hamparan pantai yang ditancapi oleh bebatuan yang ukurannya sangat-sangat besar. Mengingatkan saya dengan film "Lakar Pelangi". Tempat berfoto paling indah yang pernah saya temui sebulan belakangan ini. Konon katanya di Pantai Trikora Tiga inilah yang banyak memakan korban. Stidaknya 3 korban dalam setahun.
Sedikit merelakan pergi dari tempat ini, sayapun akhirnya tiba di Pantai Trikora Empat. Ini tempat yang paling digemari para pelancong. Luas pantai yang asyik untuk bermain bola, atau sekedar kumpul bareng bakar-bakaran, dan bahkan tempat untuk bermain air alias nyebur-nyebur adalah tujuan utama ketika mengunjungi Pantai Trikora. Bagi Anda yang ingin beristirahat sejenak ambil menikmati semilir angin pantai, disinilah tempat yang tepat. Selain itu Anda juga bisa menyewa pondok tempat beristirahat makan siang ataupun hanya sekedar untuk bersantai ria menikmati panorama alam yang begitu indahnya. Panduan antara cakrawala panatai yang bibirnya dihias rapi oleh pohon=pohon kelapa. Harga sewa pondok biasanya berkisar antara 25-30 ribu. Bila Anda ingin berenang dnegan menggunakan ban apung, disini juga tersedia tempat penyewaan. Kamar mandi umum yang dihargai 2ribu rupiahpun membuat Anda tidak keasinan lagi. Jikapun Anda ingin membeli buah tangan atau kaos, disini juga tersedia kios-kios yang menjual baju bertuliskan "Trikora Beach" membuktikan bahwa Anda sudah pernah mengunjungi pantai terindah dipulau ini.
Saran, untuk mengunjungi tempat ini tidak ada angkutan umum. Jadi Anda haruss menggunakan kendaraan pribadi atau menyewa mobil.
24-Jan-13